- Lenjing Sinta yang murka lalu mendobrak kamar ayah-ibunya yang masih asyik tidur dengan nyenyaknya. Tanpa pikir panjang kedua orangtuanya sendiri disantapnya dengan lahap.
BARU tadi pagi Supardi pulang dari Jakarta. Hampir lima tahun dia tidak pernah pulang ke desa. Dia sangat disayangi oleh majikannya, Tuan Hendrik Strumpler, seorang warga negara Belanda.
Dia pulang ke desa karena sebentar lagi dia akan segera mempersunting gadis desa yang bernama Suprapti. Meskipun di Jakarta dia hanya bekerja sebagai tukang kebun, namun kenyataannya, dia diberi gaji cukup oleh majikannya. Ketika pulang ke desa dia bisa membawa uang lebih. Memang sudah lama dia menabung untuk kemudian dia menikahi gadis pujaannya dengan membawa modal yang cukup banyak.
Waktu usai shalat Isya', dia menyempatkan diri mengunjungi temannya yang bernama Slamet. Keduanya memang merupakan sahabat yang kental. Dan, keduanya senasib seperjuangan. Mereka hanya sama-sama mengantongi ijasah SMP. Untuk melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, kedua orangtuanya sama-sama tergolong tidak mampu. Dengan demikian mau tidak mau mereka harus mencari pekerjaan seadanya.
Supardi nekad pergi ke Jakarta meski harus berpisah dengan sahabatnya. Sedang Slamet memilih tetap tinggal di desa. Di desa dia berkutat pada pekerjaannya di ladang milik orangtuanya yang tidak seberapa lebarnya. Kadangkala kalau ada orang yang membutuhkan tenaganya memperbaiki rumah, dia juga bisa melakukannya.
Ketika malam itu bertemu mereka menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Hingga tak terasa pertemuan mereka sampai tengah malam. Jam yang menempel di dinding rumah Slamet sudah menunjukkan jam 11 malam. Ketika pulang dia melalui jalan desa yang hanya samar-samar oleh sinar purnama yang hanya separo.
Meskipun sudah beberapa tahun meninggalkan desanya, dia masih hafal benar dengan situasi jalan di desanya. Selama ditinggalkan, situasi di desanya tidak banyak mengalami perubahan. Mungkin semuanya itu terbentur dengan keterbatasan dana di desa yang dicintainya. Ketika melewati salah sebuah rumah, dia menghentikan langkahnya bersamaan dengan suara yang memanggil namanya.
“Di… Supardi..mampir sebentar… Bukankah kamu orang yang bernama Supardi..?!” suara tadi suara seorang wanita.
Ketika Supardi memperhatikan arah suara tersebut, dia melihat secara samar-samar sosok seorang wanita berdiri di halaman rumah. Dia ingat bahwa wanita itu tengah berdiri di halaman rumah Mbok Surip.
“Ya benar, saya Supardi. Apa benar sampeyan Mbok Surip ?” tanya Supardi balik di kegelapan malam yang meremang.
“Benar, Di, aku kan bulikmu. Masa kamu lupa denganku ?” suara wanita yang mengaku masih buliknya sendiri itu memecah kesunyian malam.
Akhirnya, Supardi terpaksa melangkahkan kakinya masuk ke rumah Mbok Surip, meski saat itu malam sudah semakin senyap.
Malam itu dia dengan buliknya duduk berdampingan di sebuah lincak yang ada di emperan rumah. Suasananya cukup redup dengan sinar temaram yang berasal dari sebuah dian yang digantungkan di sudut teras rumah.
“Kapan kamu pulang dari Jakarta ?” tanya Mbok Surip.
“Baru kemarin bulik..”
“Membawa uang yang cukup banyak ya, Di ?”
“Ah, ya tidak seberapa bulik. Hanya cukup untuk memberi sedikit oleh-oleh untuk kedua orangtua. Lalu bagaimana kabarnya Mardjo, bulik ?.” Ketika ditanya tentang Mardjo, Mbok Surip tidak segera menjawab. Wajahnya menunduk. Sebenarnya Supardi sendiri sudah tahu tentang nasib Mardjo yang hidupnya lumayan di Semarang.
Tetapi, apa jeleknya menanyakan hal itu kepada Mbok Surip.
“Sekarang temanmu si Mardjo sudah menjadi orang yang berkecukupan. Tetapi, entah karena apa ternyata kekayaannya itu mengakibatkan dia lupa kepada orangtuanya,” suara Mbok Surip sendu.
“Lho, lupa bagaimana to bulik ?” Supardi ingin tahu penyebabnya.
“Ketahuilah, Di, tetapi jangan sampai kamu terkejut dengan kabar ini. Begini, Di, setan apa yang telah menggerogoti imannya sehingga si Mardjo temanmu itu mengambil jalan pintas. Dia mencari pesugihan dengan seekor ular yang bisa mendatangkan uang yang melimpah. Kekayaannya yang terus melimpah itu dengan tega mengorbankan ibunya sendiri. Kalau tidak percaya cobalah dekat dengan dia itu..” berkata begitu Mbok Surip mengajak Supardi berjalan mendekati dian yang ada di sudut teras rumah.
Di situ, dengan penerangannya yang masih agak samar-samar tetapi lebih terang, dia bisa melihat dengan jelas kaki Mbok Surip yang membengkak hampir seperti kaki gajah. Supardi terkejut sekali ketika melihat hal itu. Dalam hati, ia bergumam, Mardjo tega sekali menyengsarakan ibunya yang sudah tua.
“Kalau begitu bagaimana apabila besok pagi bulik saya bawa ke dokter untuk diobati?” Supardi menawarkan jasanya.
“Tidak perlu, Di. Sakit yang kuderita ini tidak bisa diobati oleh siapa pun, karena sakitku ini terkena teluh pesugihan yang dibuat oleh si Mardjo, anakku sendiri. Mau tidak mau aku harus rela menderita sakit ini karena ulah anakku sendiri. Bukan aku saja yang terkena teluh, tetapi sebentar lagi anaknya sendiri, si Sinta, dikorbankan untuk kekayaannya”. Sehabis itu di malam yang kelam itu terdengar suara tangis Mbok Surip merasakan kekejaman Mardjo yang sudah tidak merasakan dosa yang bakal disandangnya.
Melihat hal itu Supardi bisanya hanya diam, tak tahu apa yang harus dilakukan.
“Sudah bulik, jangan menangis, besok pagi kuantarkan untuk pergi ke dokter Sugeng ..” sekali lagi Supardi menawarkan jasanya. Tetapi, sekali lagi Mbok Surip tetap menolak tawaran Supardi.
“Sudahlah, Di, terima kasih atas kebaikanmu. Aku sudah merasa terobati dengan menceritakan penyebab sakitku ini kepadamu. Sekarang pulanglah, Di. Malam sudah semakin larut. Nanti ibumu merasa resah menunggu kedatanganmu yang tak kunjung datang,” Mbok Surip setengah menundung Supardi untuk segera pulang.
Atas desakan Mbok Surip tersebut, Supardi segera meninggalkan Mbok Surip sendirian dengan derita yang disandangnya. Tetapi, baru melangkah kakinya tiga langkah, dia terkejut ketika Mbok Surip berteriak-teriak kesakitan sembari memanggil-manggil namanya.
“Aduh, Di, tolong aku. Badanku rasanya panas sekali.” Supardi menoleh ke arah suara yang dilontarkan Mbok Surip. Ketika kembali ke rumahnya Mbok Surip, dia melihat Mbok Surip masih di halaman. Dia merintih kesakitan seraya menggeliat-geliatkan tubuhnya. Melihat hal itu Supardi menjadi kebingungan. Di malam yang semakin dingin dan mencekam itu tak ada seorang pun di sekitarnya selain dia dan Mbok Surip yang semakin meronta kesakitan.
Ketika Supardi hendak mendekatinya untuk memberikan pertolongan, seketika dia menghentikan langkahnya. Di saat itu tiba-tiba ada sebuah keanehan yang terjadi pada Mbok Surip. Supardi berdiri terpaku ketika melihat tubuh Mbok Surip tiba-tiba lehernya menjadi molor. Leher itu terus meninggi sehingga tingginya hampir setinggi pohon kelapa. Tubuh Mbok Surip yang tinggi sekali itu tiba-tiba menjulur ke bawah, seolah-olah hendak menyedot ubun-ubun Supardi.
Tatkala tahu hal itu Supardi berteriak sekeras-kerasnya sambil lari menyelamatkan dirinya. “Lenjing..lenjing..hantu lenjing..!! sambil lari Supardi terus berteriak-teriak ketakutan. Akhirnya, kakinya terantuk batu besar, dan jatuh pingsan tepat di depan rumah Pak Wiryo.
Entah berapa lama dia tak sadarkan diri. Ketika sadar kembali, dia melihat sudah banyak orang yang merawatnya. Dia ditidurkan di salah sebuah kamar rumah Pak Wiryo yang masih sesepuh desa tersebut.
Di antara orang yang berkerumun itu terdapat salah seorang kyai yang bernama Kyai Hasan. Dia berjalan perlahan mendekati sebuah tempat tidur tempat Supardi dirawat. Dengan seulas senyum dia duduk di bibir tempat tidur. Kemudian kyai yang sudah uzur itu bercerita kepada semua yang ada di situ.
Sebenarnya Mbok Surip itu sudah setahun yang lalu meninggal dunia. Semua tidak ada yang tahu apa yang menjadi penyebab kematiannya. Dikira kematian Mbok Surip karena sakit yang dideritanya.
Tetapi, seminggu kemudian setelah kematiannya, orang-orang yang ada di sekitarnya mulai curiga. Mereka sering mendengar suara tangis di rumahnya. Tetapi, setelah didekati suara tangis itu hilang.
Kemudian orang-orang mulai menduga bahwa yang menangis tersebut tiada lain adalah arwah Mbok Surip yang masih bergentayangan.
Orang-orang bertambah curiga setelah mengamati kehidupan Mardjo, anaknya, semakin hari semakin kaya. Tidak ada yang mengerti dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu. Belum ada setahun dia bisa membangun rumah yang mentereng, membeli mobil bagus dan beberapa hektar sawah.
Beberapa orang yang tahu, Mardjo adalah pedagang buku kecil-kecilan di Semarang. Dua minggu sekali dia pulang ke desa untuk menjenguk keluarganya dan membawa uang dalam jumlah besar yang disimpan di rumahnya. Mbok Surip yang arwahnya gentayangan adalah karena perbuatan anaknya, si Mardjo, yang tega mengorbankan ibunya sebagai tumbal pesugihan.
Dan, pesugihan yang berupa Lenjing itu berwujud manusia yang lehernya memanjang seperti ular. Kemudian kepala yang telah memanjang itu segera mencari sasaran ubun-ubun manusia yang dijumpainya.
Sebelum menjadi lenjing, si manusia yang dikorbankan oleh si Mardjo terlebih dahulu digigit oleh ular senjata pesugihannya. Setelah ular tersebut berhasil menggigit korbannya dengan menyedot darah si korban sepuas-puasnya, si korban baru akan menjadi lenjing. Belakangan, yang dikorbankan menjadi lenjing anaknya sendiri, si Sinta, yang masih duduk di bangku di SMP kelas tiga.
Malam itu si Sinta yang telah berubah menjadi Lenjing, gerak-geriknya menjadi lebih beringas. Si Lenjing Sinta dengan leher yang telah molor mencari sasaran ke sana-ke mari. Tetapi, malam itu tidak ada orang yang dijadikan korban.
Lenjing Sinta yang murka lalu mendobrak kamar ayah-ibunya yang masih asyik tidur dengan nyenyaknya. Tanpa pikir panjang kedua orangtuanya sendiri disantapnya dengan lahap. Teriakan histeris kedua orangtuanya yang kesakitan minta dibelaskasihani tidak dipedulikan oleh si Lenjing Sinta.
Tak ada satu pun tetangga yang mendengar teriakan histeris si Mardjo dan istrinya malam itu. Hingga keesokan paginya rumah di sekitarnya dipenuhi oleh para tetangga. Di rumah itu para tetangga menemukan Mardjo dengan isterinya, dan si Sinta yang telah menjadi manusia biasa sama-sama mati terkapar di lantai kamarnya.
Kepala Mardjo dan istrinya remuk dengan darah semburat di kamarnya. Sedang Sinta sendiri tampak darah segar yang meleleh di mulutnya.
“Orang-orang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya ketika saya ceritakan bahwa semua itu akibat pesugihan yang dipunyai Mardjo berupa hantu Lenjing,” ketika Kyai Hasan menyelesaikan ceritanya, semua yang ada di situ pun lalu pulang ke rumah mereka masing-masing. (R.47)
BARU tadi pagi Supardi pulang dari Jakarta. Hampir lima tahun dia tidak pernah pulang ke desa. Dia sangat disayangi oleh majikannya, Tuan Hendrik Strumpler, seorang warga negara Belanda.
Dia pulang ke desa karena sebentar lagi dia akan segera mempersunting gadis desa yang bernama Suprapti. Meskipun di Jakarta dia hanya bekerja sebagai tukang kebun, namun kenyataannya, dia diberi gaji cukup oleh majikannya. Ketika pulang ke desa dia bisa membawa uang lebih. Memang sudah lama dia menabung untuk kemudian dia menikahi gadis pujaannya dengan membawa modal yang cukup banyak.
Waktu usai shalat Isya', dia menyempatkan diri mengunjungi temannya yang bernama Slamet. Keduanya memang merupakan sahabat yang kental. Dan, keduanya senasib seperjuangan. Mereka hanya sama-sama mengantongi ijasah SMP. Untuk melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, kedua orangtuanya sama-sama tergolong tidak mampu. Dengan demikian mau tidak mau mereka harus mencari pekerjaan seadanya.
Supardi nekad pergi ke Jakarta meski harus berpisah dengan sahabatnya. Sedang Slamet memilih tetap tinggal di desa. Di desa dia berkutat pada pekerjaannya di ladang milik orangtuanya yang tidak seberapa lebarnya. Kadangkala kalau ada orang yang membutuhkan tenaganya memperbaiki rumah, dia juga bisa melakukannya.
Ketika malam itu bertemu mereka menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Hingga tak terasa pertemuan mereka sampai tengah malam. Jam yang menempel di dinding rumah Slamet sudah menunjukkan jam 11 malam. Ketika pulang dia melalui jalan desa yang hanya samar-samar oleh sinar purnama yang hanya separo.
Meskipun sudah beberapa tahun meninggalkan desanya, dia masih hafal benar dengan situasi jalan di desanya. Selama ditinggalkan, situasi di desanya tidak banyak mengalami perubahan. Mungkin semuanya itu terbentur dengan keterbatasan dana di desa yang dicintainya. Ketika melewati salah sebuah rumah, dia menghentikan langkahnya bersamaan dengan suara yang memanggil namanya.
“Di… Supardi..mampir sebentar… Bukankah kamu orang yang bernama Supardi..?!” suara tadi suara seorang wanita.
Ketika Supardi memperhatikan arah suara tersebut, dia melihat secara samar-samar sosok seorang wanita berdiri di halaman rumah. Dia ingat bahwa wanita itu tengah berdiri di halaman rumah Mbok Surip.
“Ya benar, saya Supardi. Apa benar sampeyan Mbok Surip ?” tanya Supardi balik di kegelapan malam yang meremang.
“Benar, Di, aku kan bulikmu. Masa kamu lupa denganku ?” suara wanita yang mengaku masih buliknya sendiri itu memecah kesunyian malam.
Akhirnya, Supardi terpaksa melangkahkan kakinya masuk ke rumah Mbok Surip, meski saat itu malam sudah semakin senyap.
Malam itu dia dengan buliknya duduk berdampingan di sebuah lincak yang ada di emperan rumah. Suasananya cukup redup dengan sinar temaram yang berasal dari sebuah dian yang digantungkan di sudut teras rumah.
“Kapan kamu pulang dari Jakarta ?” tanya Mbok Surip.
“Baru kemarin bulik..”
“Membawa uang yang cukup banyak ya, Di ?”
“Ah, ya tidak seberapa bulik. Hanya cukup untuk memberi sedikit oleh-oleh untuk kedua orangtua. Lalu bagaimana kabarnya Mardjo, bulik ?.” Ketika ditanya tentang Mardjo, Mbok Surip tidak segera menjawab. Wajahnya menunduk. Sebenarnya Supardi sendiri sudah tahu tentang nasib Mardjo yang hidupnya lumayan di Semarang.
Tetapi, apa jeleknya menanyakan hal itu kepada Mbok Surip.
“Sekarang temanmu si Mardjo sudah menjadi orang yang berkecukupan. Tetapi, entah karena apa ternyata kekayaannya itu mengakibatkan dia lupa kepada orangtuanya,” suara Mbok Surip sendu.
“Lho, lupa bagaimana to bulik ?” Supardi ingin tahu penyebabnya.
“Ketahuilah, Di, tetapi jangan sampai kamu terkejut dengan kabar ini. Begini, Di, setan apa yang telah menggerogoti imannya sehingga si Mardjo temanmu itu mengambil jalan pintas. Dia mencari pesugihan dengan seekor ular yang bisa mendatangkan uang yang melimpah. Kekayaannya yang terus melimpah itu dengan tega mengorbankan ibunya sendiri. Kalau tidak percaya cobalah dekat dengan dia itu..” berkata begitu Mbok Surip mengajak Supardi berjalan mendekati dian yang ada di sudut teras rumah.
Di situ, dengan penerangannya yang masih agak samar-samar tetapi lebih terang, dia bisa melihat dengan jelas kaki Mbok Surip yang membengkak hampir seperti kaki gajah. Supardi terkejut sekali ketika melihat hal itu. Dalam hati, ia bergumam, Mardjo tega sekali menyengsarakan ibunya yang sudah tua.
“Kalau begitu bagaimana apabila besok pagi bulik saya bawa ke dokter untuk diobati?” Supardi menawarkan jasanya.
“Tidak perlu, Di. Sakit yang kuderita ini tidak bisa diobati oleh siapa pun, karena sakitku ini terkena teluh pesugihan yang dibuat oleh si Mardjo, anakku sendiri. Mau tidak mau aku harus rela menderita sakit ini karena ulah anakku sendiri. Bukan aku saja yang terkena teluh, tetapi sebentar lagi anaknya sendiri, si Sinta, dikorbankan untuk kekayaannya”. Sehabis itu di malam yang kelam itu terdengar suara tangis Mbok Surip merasakan kekejaman Mardjo yang sudah tidak merasakan dosa yang bakal disandangnya.
Melihat hal itu Supardi bisanya hanya diam, tak tahu apa yang harus dilakukan.
“Sudah bulik, jangan menangis, besok pagi kuantarkan untuk pergi ke dokter Sugeng ..” sekali lagi Supardi menawarkan jasanya. Tetapi, sekali lagi Mbok Surip tetap menolak tawaran Supardi.
“Sudahlah, Di, terima kasih atas kebaikanmu. Aku sudah merasa terobati dengan menceritakan penyebab sakitku ini kepadamu. Sekarang pulanglah, Di. Malam sudah semakin larut. Nanti ibumu merasa resah menunggu kedatanganmu yang tak kunjung datang,” Mbok Surip setengah menundung Supardi untuk segera pulang.
Atas desakan Mbok Surip tersebut, Supardi segera meninggalkan Mbok Surip sendirian dengan derita yang disandangnya. Tetapi, baru melangkah kakinya tiga langkah, dia terkejut ketika Mbok Surip berteriak-teriak kesakitan sembari memanggil-manggil namanya.
“Aduh, Di, tolong aku. Badanku rasanya panas sekali.” Supardi menoleh ke arah suara yang dilontarkan Mbok Surip. Ketika kembali ke rumahnya Mbok Surip, dia melihat Mbok Surip masih di halaman. Dia merintih kesakitan seraya menggeliat-geliatkan tubuhnya. Melihat hal itu Supardi menjadi kebingungan. Di malam yang semakin dingin dan mencekam itu tak ada seorang pun di sekitarnya selain dia dan Mbok Surip yang semakin meronta kesakitan.
Ketika Supardi hendak mendekatinya untuk memberikan pertolongan, seketika dia menghentikan langkahnya. Di saat itu tiba-tiba ada sebuah keanehan yang terjadi pada Mbok Surip. Supardi berdiri terpaku ketika melihat tubuh Mbok Surip tiba-tiba lehernya menjadi molor. Leher itu terus meninggi sehingga tingginya hampir setinggi pohon kelapa. Tubuh Mbok Surip yang tinggi sekali itu tiba-tiba menjulur ke bawah, seolah-olah hendak menyedot ubun-ubun Supardi.
Tatkala tahu hal itu Supardi berteriak sekeras-kerasnya sambil lari menyelamatkan dirinya. “Lenjing..lenjing..hantu lenjing..!! sambil lari Supardi terus berteriak-teriak ketakutan. Akhirnya, kakinya terantuk batu besar, dan jatuh pingsan tepat di depan rumah Pak Wiryo.
Entah berapa lama dia tak sadarkan diri. Ketika sadar kembali, dia melihat sudah banyak orang yang merawatnya. Dia ditidurkan di salah sebuah kamar rumah Pak Wiryo yang masih sesepuh desa tersebut.
Di antara orang yang berkerumun itu terdapat salah seorang kyai yang bernama Kyai Hasan. Dia berjalan perlahan mendekati sebuah tempat tidur tempat Supardi dirawat. Dengan seulas senyum dia duduk di bibir tempat tidur. Kemudian kyai yang sudah uzur itu bercerita kepada semua yang ada di situ.
Sebenarnya Mbok Surip itu sudah setahun yang lalu meninggal dunia. Semua tidak ada yang tahu apa yang menjadi penyebab kematiannya. Dikira kematian Mbok Surip karena sakit yang dideritanya.
Tetapi, seminggu kemudian setelah kematiannya, orang-orang yang ada di sekitarnya mulai curiga. Mereka sering mendengar suara tangis di rumahnya. Tetapi, setelah didekati suara tangis itu hilang.
Kemudian orang-orang mulai menduga bahwa yang menangis tersebut tiada lain adalah arwah Mbok Surip yang masih bergentayangan.
Orang-orang bertambah curiga setelah mengamati kehidupan Mardjo, anaknya, semakin hari semakin kaya. Tidak ada yang mengerti dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu. Belum ada setahun dia bisa membangun rumah yang mentereng, membeli mobil bagus dan beberapa hektar sawah.
Beberapa orang yang tahu, Mardjo adalah pedagang buku kecil-kecilan di Semarang. Dua minggu sekali dia pulang ke desa untuk menjenguk keluarganya dan membawa uang dalam jumlah besar yang disimpan di rumahnya. Mbok Surip yang arwahnya gentayangan adalah karena perbuatan anaknya, si Mardjo, yang tega mengorbankan ibunya sebagai tumbal pesugihan.
Dan, pesugihan yang berupa Lenjing itu berwujud manusia yang lehernya memanjang seperti ular. Kemudian kepala yang telah memanjang itu segera mencari sasaran ubun-ubun manusia yang dijumpainya.
Sebelum menjadi lenjing, si manusia yang dikorbankan oleh si Mardjo terlebih dahulu digigit oleh ular senjata pesugihannya. Setelah ular tersebut berhasil menggigit korbannya dengan menyedot darah si korban sepuas-puasnya, si korban baru akan menjadi lenjing. Belakangan, yang dikorbankan menjadi lenjing anaknya sendiri, si Sinta, yang masih duduk di bangku di SMP kelas tiga.
Malam itu si Sinta yang telah berubah menjadi Lenjing, gerak-geriknya menjadi lebih beringas. Si Lenjing Sinta dengan leher yang telah molor mencari sasaran ke sana-ke mari. Tetapi, malam itu tidak ada orang yang dijadikan korban.
Lenjing Sinta yang murka lalu mendobrak kamar ayah-ibunya yang masih asyik tidur dengan nyenyaknya. Tanpa pikir panjang kedua orangtuanya sendiri disantapnya dengan lahap. Teriakan histeris kedua orangtuanya yang kesakitan minta dibelaskasihani tidak dipedulikan oleh si Lenjing Sinta.
Tak ada satu pun tetangga yang mendengar teriakan histeris si Mardjo dan istrinya malam itu. Hingga keesokan paginya rumah di sekitarnya dipenuhi oleh para tetangga. Di rumah itu para tetangga menemukan Mardjo dengan isterinya, dan si Sinta yang telah menjadi manusia biasa sama-sama mati terkapar di lantai kamarnya.
Kepala Mardjo dan istrinya remuk dengan darah semburat di kamarnya. Sedang Sinta sendiri tampak darah segar yang meleleh di mulutnya.
“Orang-orang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya ketika saya ceritakan bahwa semua itu akibat pesugihan yang dipunyai Mardjo berupa hantu Lenjing,” ketika Kyai Hasan menyelesaikan ceritanya, semua yang ada di situ pun lalu pulang ke rumah mereka masing-masing. (R.47)